Sistem Pendidikan Kolonial yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia adalah sebuah struktur yang rumit, tidak hanya bertujuan untuk mencetak tenaga kerja, tetapi juga untuk mengukuhkan stratifikasi sosial dan mempertahankan dominasi penjajah. Di balik façade pencerahan yang kadang digembar-gemborkan, tersembunyi jejak diskriminasi yang mendalam, membatasi akses dan kualitas pendidikan berdasarkan ras dan status sosial. Memahami bagaimana sistem ini bekerja akan mengungkap gambaran nyata tentang ketidakadilan pada masa itu.
Pada awal kedatangan Belanda, pendidikan formal bagi pribumi nyaris tidak ada. VOC lebih berfokus pada perdagangan dan agama. Baru pada abad ke-19, seiring dengan perubahan kebijakan dan munculnya gagasan Politik Etis pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial mulai mendirikan sekolah-sekolah yang lebih terstruktur. Namun, Sistem Pendidikan Kolonial ini jauh dari kata merata. Sekolah-sekolah dibagi berdasarkan golongan ras dan status sosial, menciptakan kasta dalam dunia pendidikan. Contohnya, Europeesche Lagere School (ELS) diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dengan kurikulum lengkap dan fasilitas terbaik, yang mempersiapkan mereka untuk jenjang pendidikan tinggi di Belanda.
Di sisi lain, untuk anak-anak pribumi, terdapat Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, namun kualitasnya tidak setara dengan ELS. HIS didirikan khusus untuk anak-anak bangsawan pribumi dan elit lokal, dengan harapan mereka akan menjadi ambtenaar atau pegawai rendahan yang setia kepada Belanda. Bagi rakyat jelata, Sistem Pendidikan Kolonial hanya menyediakan Volksschool (sekolah desa) dengan kurikulum yang sangat dasar, biasanya hanya membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Data dari Departement van Onderwijs pada tahun 1930 menunjukkan bahwa hanya sekitar 7% anak usia sekolah pribumi yang memiliki akses pendidikan dasar formal, dengan mayoritas hanya mengenyam Volksschool selama tiga tahun.
Diskriminasi ini berlanjut hingga jenjang pendidikan menengah. Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Algemene Middelbare School (AMS) adalah sekolah lanjutan dengan standar yang lebih tinggi, namun aksesnya sangat terbatas bagi pribumi. Bahkan bagi mereka yang berhasil masuk, pilihan jurusan seringkali dibatasi pada bidang-bidang yang dibutuhkan oleh administrasi kolonial, seperti sekolah kejuruan atau sekolah guru. Ideologi di balik Sistem Pendidikan Kolonial ini adalah untuk menciptakan “kelas pekerja” yang terampil namun tidak terlalu kritis, serta segelintir “kelas menengah” yang dapat membantu menjalankan birokrasi, tanpa mengancam hegemoni penjajah.
Ironisnya, dari bibit-bibit pendidikan yang diskriminatif inilah, lahir kaum intelektual pribumi yang kemudian menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan. Mereka yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi, seperti di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), menyadari ketidakadilan dalam Sistem Pendidikan Kolonial dan menggunakan pengetahuan mereka untuk membangkitkan kesadaran nasional. Peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang dipelopori oleh para pemuda terpelajar, adalah bukti nyata bagaimana pendidikan, meski penuh diskriminasi, pada akhirnya melahirkan benih-benih kemerdekaan.