Dalam dunia pendidikan tinggi, upaya menjaga integritas akademik menjadi krusial. Namun, terkadang niat baik untuk meningkatkan mutu justru bisa terjebak dalam apa yang dikenal sebagai “Efek Kobra,” sebuah fenomena di mana solusi yang diterapkan justru memperparah masalah. Untuk itu, penting sekali menangkal jebakan Kobra ini, khususnya dalam konteks publikasi ilmiah dan peningkatan peringkat universitas. Memahami bagaimana efek ini bekerja adalah langkah pertama untuk membangun kembali fondasi akademik yang kokoh.
“Efek Kobra” adalah analogi yang tepat untuk menggambarkan situasi di mana kebijakan yang bertujuan baik menciptakan insentif yang tidak diinginkan, berakhir dengan hasil yang kontraproduktif. Dalam konteks akademik, ini sering terjadi ketika tekanan untuk memenuhi target kuantitas publikasi ilmiah mengalahkan fokus pada kualitas, orisinalitas, dan etika. Dosen dan peneliti dihadapkan pada dilema: apakah harus menghasilkan penelitian berkualitas tinggi yang membutuhkan waktu, atau sekadar memenuhi target dengan cara apa pun?
Pemicu utama dari jebakan ini adalah sistem penilaian yang terlalu mengutamakan angka. Misalnya, pada awal tahun 2025, Komisi Akreditasi Nasional mengeluarkan rekomendasi untuk meninjau ulang bobot penilaian publikasi ilmiah demi mencegah praktik curang. Tanpa sistem yang seimbang, para akademisi mungkin terdorong untuk melakukan “salami slicing” (memecah satu penelitian besar menjadi beberapa publikasi kecil), plagiarisme, atau bahkan menerbitkan di jurnal predator yang minim tinjauan sejawat. Praktik-praktik ini, yang muncul sebagai respons terhadap tekanan kuantitas, justru merusak kredibilitas institusi dan individu.
Untuk menangkal jebakan Kobra ini, perubahan fundamental diperlukan. Pertama, fokus harus digeser dari kuantitas ke kualitas. Penilaian kinerja akademik harus mempertimbangkan dampak riset, sitasi, dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat. Kedua, edukasi mengenai etika penelitian harus diperkuat sejak dini, mulai dari tingkat mahasiswa hingga profesor senior. Workshop mengenai integritas ilmiah dan bahaya plagiarisme, seperti yang diselenggarakan oleh kepolisian di beberapa universitas pada Mei 2025, sangat penting.
Selain itu, transparansi dalam proses publikasi dan akreditasi juga sangat penting. Mendorong penggunaan open science dan peer review yang ketat dapat membantu memastikan bahwa hanya penelitian berkualitas tinggi yang diakui. Menangkal jebakan Kobra ini memerlukan komitmen kolektif dari seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem pendidikan tinggi – mulai dari pembuat kebijakan, rektorat, hingga setiap individu akademisi – untuk kembali menjunjung tinggi integritas sebagai pilar utama kemajuan ilmu pengetahuan.